Oleh: Anindito Aditomo, M.Phil., Ph.D.
Dosen Universitas Surabaya
Urusan memilih jurnal yang cocok sebagai wahana publikasi ini ternyata tidak sederhana. Yang membuatnya pelik bukan hanya pilihan yang semakin banyak, tapi juga adanya jurnal-jurnal “predator” yang semakin pintar menipu para akademisi yang (dibuat) haus publikasi internasional.
Jurnal bodong adalah jurnal abal-abal atau jurnal predator yang menerbitkan artikel untuk siapa pun yang mau membayar. Tiap jurnal predator membandrol biaya penerbitan yang bervariasi, tapi kebanyakan berkisar $100 sampai $300. Jurnal bodong pada umumnya tidak melakukan peer review. Kalau pun ada, peer review dilakukan sekedar sebagai formalitas. Inilah yang membuat jurnal predator bisa mempublikasikan artikel dalam hitungan hari atau minggu.
Dengan proses seperti itu, mudah dibayangkan bahwa artikel yang ada di jurnal-jurnal bodong biasanya berkualitas rendah. Tentu tidak semua buruk, tapi umumnya demikian. Akibatnya, artikel-artikel dalam jurnal predator biasanya tidak dibaca, apalagi dipercaya dan dikutip, oleh peneliti yang serius. Kalau pun ada artikel bagus yang terperosok perangkap jurnal predator, kecil kemungkinan artikel tersebut dibaca dan dikutip oleh peneliti yang serius.
Pada intinya, dalam praktik seperti ini, publikasi ilmiah terjatuh menjadi transaksi bisnis semata. Tidak ada diskusi, debat, argumentasi. Tidak ada kritisisme dan dialog keilmuan antar sejawat akademisi. Tidak ada akumulasi pengetahuan yang sistematis. Publikasi menjadi tercerai dari pengembangan keilmuan.
Mengapa ada yang mau membayar jutaan rupiah untuk menerbitkan artikel di jurnal abal-abal? Sayangnya ini pertanyaan yang salah. Bukan hanya “ada”, tapi banyak sekali yang mau! Menurut saya, akar masalahnya ada pada kebijakan makro pendidikan tinggi di negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki tradisi penelitian ilmiah. Para pengelola jurnal abal-abal itu sebenarnya hanya memanfaatkan situasi yang diciptakan oleh pengambil kebijakan. Boleh dibilang bahwa mereka adalah enterpreneur pengetahuan (yang, sayangnya, tak peduli etika).
Lho kok bisa begitu? Kok malah menyalahkan pemerintah? Begini ceritanya. Beberapa tahun terakhir, pemerintah negara-negara fakir ilmu getol mendorong akademisinya untuk menerbitkan artikel di jurnal internasional. Indonesia, misalnya, sekarang mensyaratkan dosen untuk publikasi internasional untuk kenaikan ke jenjang guru besar. Jumlah publikasi internasional menjadi kriteria penting akreditasi program studi dan institusi. Alhasil, angka itu pun menjadi indikator kinerja di banyak universitas, baik negeri dan maupun swasta. Dosen maupun institusi yang berhasil akan mendapat meraup untung besar, karena negara menyediakan hadiah finansial untuk tiap judul publikasi.
Tuntutan publikasi internasional ini sekilas bagus. Bukankah dosen memang harus publikasi internasional? Pada level individual, memang benar demikian. Tapi pada level yang lebih makro, dampak kebijakan ini harus ditakar dalam konteks kapasitas dan tradisi keilmuan yang ada. Berapa persen dosen di Indonesia yang punya keterampilan dan pengalaman publikasi tingkat internasional? Dari sekian yang mampu, berapa yang punya waktu untuk menulis dengan serius? Lebih mendasar lagi, berapa persen yang sedang atau telah melakukan penelitian yang memang menghasilkan temuan cukup berharga untuk dipublikasikan di tingkat internasional?
Dugaan saya, tidak banyak. Bagi sebagian besar dari puluhan ribu dosen di Indonesia, publikasi internasional adalah hal yang asing. Ketika mereka dipaksa bersegera menulis artikel dan mempublikasikannya di level internasional, terciptalah pasar yang kemudian dimanfaatkan oleh jurnal-jurnal predator yang menawarkan solusi cepat.
Pemerintah sebenarnya juga menyadari imbas negatif ini. Salah satu mitigasinya adalah dengan hanya mengakui jurnal yang terdaftar dalam indeks semacam SCOPUS (buatan Elsevier) atau Web of Science (buatan Thomson Reuters). Indeks mereka menjadi semacam daftar putih, white list, yang dijadikan penjamin mutu publikasi. Sayangnya, tak semua jurnal predator berhasil disaring oleh para pembuat indeks jurnal.
Penelitian Sterligov dan Savina, misalnya, menemukan lebih dari 500 jurnal abal-abal dalam daftar SCOPUS. Kedua peneliti ini menghitung jumlah artikel yang terbit di jurnal-jurnal predator tersebut. Temuannya seharusnya menyakitkan bagi akademisi di Indonesia. Hampir seperempat dari seluruh artikel asal Indonesia yang ada di database SCOPUS ternyata terbit di jurnal abal-abal. Dalam hal ini, kita adalah juara dunia!
Jadi, dosen dan pemerintah tidak bisa sekedar mengandalkan SCOPUS dan layanan serupa. Atau, lebih mendasar lagi, urusan publikasi seharusnya menjadi bagian organik dari kerja keilmuan. Yang perlu dilakukan pembuat kebijakan adalah membantu menciptakan iklim akademik yang memungkinkan kerja keilmuan. Hadiah dan hukuman terkait penerbitkan artikel jurnal hanya sebagian kecil (dan mungkin bagian yang kurang penting) dari upaya semacam itu.
Referensi:
Sterligov & Savina (2016) Riding with the metric tide: Predatory journals in SCOPUS. Higher Education in Russia and Beyond. https://herb.hse.ru/data/2016/03/02/1125175286/3.pdf